Marimutu Manimaren memasuki lobi
Hotel Aston Jakarta sekitar 10.000 WIB, 4 Agustus 2003. Kepada petugas lobi
hotel ia menyerahkan identitasnya. Marimutu Manimaren tercatat sebagai warga Kebon Kacang RT 012 RW 06 Tanahabang,
Jakarta Pusat. Ia kelahiran Medan 1957. Ia kemudian check in sebentar di kamar 5607, lalu keluar meninggalkan hotel. Ia baru
kembali ke hotel Pukul 22.00 WIB, dia antar Udin sopirnya sampai lobi hotel.
Manimaren langsung masuk ke kamarnya sendirian.
Sepengetahuan pihak hotel, malam
itu Manimaren tidak pernah keluar dari kamarnya serta tak pernah menerima
kunjungan tamu.
Pukul 5.30 Hotel Aston dikejutkan
dengan penemuan mayat yang jatuh dari lantai 56. Tubuh itu terhempas menghantam
balkon di lantai 5 lalu menghantam kanopi lobi, menghantam lagi mobil kijang
silver sebelum akhirnya menghempas ke tanah yang beralaskan pavement block.
Korban jatuh dengan kepala hancur.
Belakangan diketahui mayat itu
adalah penghuni kamar 5607. Marimutu Manimaren bunuh diri?
Marimutu Manimaren Pengusaha sekaligus tokoh politik Golkar. Sumber: Suara merdeka |
Polisi yang datang ke lokasi
kejadian segera menyidik. Dari hasil olah kejadian perkara tidak ditemukan
tanda-tanda kekerasan. Kamar Manimaren dalam keadaan terkunci, tergrendel.
Polisi terpaksa menggergaji pintu untuk bisa masuk. Di dalam kamar polisi juga
tidak ditemukan obat-obatan maupun minuman.
Seminggu sebelum Manimaren
meninggal, kakak Manimaren, Ganesan Marimutu mengatakan kalau adiknya sempat
mengeluh kesal, karena mengharapkan bantuan pemerintah yang tak kunjung datang.
Ganesan mengatakan bila Manimaren mengeluhkan pemerintah yang seolah sepakat
menghancurkan perusahaan mereka.
Karenanya, dia mendatangi
beberapa pejabat yang sudah dekat dengannya. Salah satunya Akbar Tandjung yang
ditemui Manimaren beberapa pekan lalu.
Sehari sebelum kematiannya, ia
juga sempat menghubungi adiknya lewat telepon. Tapi Manimaren hanya mengatakan,
dirinya tidak bisa banyak bicara. Marimanen mengaku sedang ada teman dan akan
menelepon balik.
Tapi telepon itu tak kunjung
datang, malah kabar duka yang dia terima keesokan harinya. Ganesan juga
menceritakan kejadian sebelum musibah itu terjadi. Manimaren baru tiba di
rumahnya di Jalan Gunawarman 31, Kebayoran Baru, Jakarta Selatan sekitar pukul
16.30 WIB, setelah pulang dari kantornya.
Ia sempat berolahraga sebentar,
seperti hari-hari biasanya. Kemudian menyuruh pembantunya menyiapkan pakaian
dan keperluan lain. Sekitar pukul 22.00 WIB, Manimaren meninggalkan rumahnya.
Tak lama kemudian dia kembali lagi ke rumahnya hanya untuk mengambil tas kecil,
lalu pergi lagi.
Di rumahnya, Manimaren hanya
tinggal bersama dua pembantu dan asisten pribadinya. Sementara istrinya, Jeanne
Manimaren dan kedua anaknya, Marisa (17) dan Daniel (9) sudah 1,5 tahun tinggal
di Connectitut, Amerika Serikat. Rumah tangga Manimaren dinilai cukup harmonis
di mata keluarganya.
Hariman Siregar teman Marimanen
mengakui Marimanern memang sering mengeluh tidak bisa tidur dalam bulan-bulan
terakhir. Dia juga mengeluhkan macam-macam soal dunia bisnis hingga kredit yang
susah didapat. Belakangan, dia mendapat desakan untuk memecat sebagian besar
karyawannya. Sebab itu, Hariman menilai almarhum mengalami gejala depresi yang
juga sering dialami para pebisnis lainnya. Karenanya, dia menganjurkan
Manimaren untuk berkonsultasi dengan ahli jiwa.
Ketua DPP Partai Golkar Akbar
Tandjung juga mengaku dua minggu lalu sempat bertemu dengan Marimanen. Ia tahu
kesulitan-kesulitan bisnis yang sedang dihadapi Marimanen.
Kamis, 7 Agustus 2003. Di tengah
terik matahari dan iringan isak tangis keluarga, kerabat dan handai taulan,
jenazah pengusaha Marimutu Manimaren akhirnya dimakamkan di Blok AAI Taman
Pemakaman Umum (TPU), Kampung Kandang Ciganjur Jakarta Selatan pukul 11.00 WIB
kemarin.
Hadir dalam pemakaman itu,
pengusaha nasional yang juga kakak tertua Marimutu Sinivasan, kakak kandung
kedua, Ganesan, saudara-saudara, sahabat, dan ratusan karyawan PT Texmaco. Ikut
hadir Ketua DPP Golkar Akbar Tandjung, mantan Menteri Tenaga Kerja Bomer
Pasaribu, dan GM Texmaco, Martin Hutabarat.
Sekadar diketahui, Marimutu
Manimaren adalah pebisnis ulung. Bersama saudaranya, Marimutu Sinivasan, mereka
membangun kerajaan tekstil di bawah bendera Texmaco. Berawal dari Kendal, Jawa
Tengah, Texmaco kini menjadi raksasa tekstil yang menguasai industri hulu
hingga hilir. Bahkan, cabang bisnisnya terbentang dari Amerika Utara, Irlandia
hingga Uganda. Belakangan, kerajaan bisnis Texmaco merambah industri otomotif
yang berlokasi di Karawang, Jawa Barat.
Manimaren juga berperan
mendekatkan Texmaco dengan sumber kekuasaan di zaman Orde Baru saat Presiden
Soeharto berkuasa. Buktinya, pada 1995, Texmaco memberi sumbangan politik
dengan menyelamatkan Bank Putera Sukapura milik Keluarga Cendana. Bank ini
kembali memenuhi imbauan politik Keluarga Cendana untuk mendirikan pabrik tekstil
di Timor Timur dengan nilai investasi US$ 575 juta, pada 1997.
Saat B.J. Habibie tampil sebagai
presiden, pada 1999, kiprah Marimutu Manimaren di bidang politik makin
berkibar, sehingga pengaruhnya pada bisnis Texmaco makin terasa. Saat itu,
Texmaco mendapat order pembuatan truk pengangkut untuk keperluan militer. Di
zaman ini pula, Manimaren memasukkan order bisnis ke Texmaco dengan mensuplai
berbagai jenis komponen untuk PT PAL, Maleo, dan IPTN yang kini menjadi PT
Dirgantara Indonesia.
Manimaren pun menjabat sebagai
wakil bendahara Partai Golkar saat Habibie berkuasa. Namanya makin sering
dimuat di media massa saat Kasus Bank Bali terungkap. Sebab, dia bersama
rekannya, Setya Novanto, disebut-sebut oleh Rudy Ramli terlibat dalam
pengambilalihan tagihan Bank Bali.
Baca juga:
Laporan Tempo tentang Aliran Dana Bank Bali
Kejayaan Manimaren tidak redup
meski kekuasaan berganti dan tak lagi menjabat wakil bendahara Partai Golkar.
Kelihaian dan kecerdikannya membuat Manimaren dan bisnisnya tetap menempel
dengan penguasa baru. Dia tercatat sebagai seorang anggota rombongan Presiden
Megawati Sukarnoputri ke Rusia, pada April 2003 silam. Pada kesempatan ini
Megawati menandatangani kesepakatan pembelian pesawat tempur Sukhoi. Dan
keterlibatanya itu Manimaren juga dipanggil Panitia Kerja DPR untuk dimintai
keterangan soal pembelian Sukhoi.
Di sisi lain, PT Texmaco pada 2003 masih menjalani restrukturisasi utang yang berjumlah kurang lebih US$ 2,7
miliar. Lilitan utang dalam skala besar ini membuat manajemen Texmaco sulit
untuk melanjutkan operasi secara normal. Pada Januari 2001, Badan Penyehatan
Perbankan Nasional (BPPN) merestrukturisasi utang Texmaco melalui dua tahap.
Tahap pertama BPPN membentuk
sebuah perusahaan induk bernama Newco yang bertugas menampung aset-aset
Texmaco. Bersamaan dengan itu, perusahaan ini dirampingkan dalam divisi tekstil
dan mesin dengan maksud mengontrol arus kas yang selama ini dinilai mengalir ke
hal lain di luar kepentingan usaha.
Pengalihan aset itu dilanjutkan
dengan proses restrukturisasi utang Texmaco. Penjadwalan utang selama sebelas
tahun ini belum memperhitungkan utang Texmaco ke kreditor asing, termasuk
Marubeni Jepang, senilai kurang lebih US 1,7 miliar. Di tengah himpitan utang
yang begitu besar, pertengahan tahun 2003 Texmaco kembali menyedot perhatian
dengan berita seputar permintaan penambahan modal kerja buat kelangsungan
usaha.
Di tengah situasi seperti itu,
Marimanen memilih mengakhiri hidupnya.
0 comments:
Post a Comment