sisi lain sebuah berita

Thursday, March 5, 2015

Klaim Ahok Soal Pencitraan dan Kejujuran Sebagai Pemimpin

Nama Ahok mencuat sejak Pilkada DKI. Ini merupakan keberhasilannya untuk menjadikan dirinya sebagai produk yang dibutuhkan masyarakat di jaman ini; pemimpin tegas, berani, anti korupsi, dan punya gagasan-gagasan segar. 

Ahok menjadi dirinya sendiri ketika dia tak bisa menyembunyikan mata sipit dan ibadahnya ke gereja. Itu pun sudah menjadi kekhasan yang melekat pada dirinya. Sementara kandidat lain berusaha mematut diri, Ahok tampil “apa adanya”. Ia mengubah “kekurangan” yang melekat pada dirinya menjadi sebentuk kekuatan tersendiri. Ahok percaya diri.

Namun Ahok bukanlah satu-satunya orang Tionghoa dan sekaligus Kristen dalam panggung politik Indonesia. Sejarah republik ini pernah mencatat Bob Hasan sebagai menteri di Era Soeharto. Pun Kwik Kian Gie yang menjabat Menteri Koordinator di era Presiden Megawati. Ada Mari Elka Pangestu yang menjabat Menteri Perdagangan di era SBY.

Apa yang membedakan Ahok dengan mereka? Ahok secara konsisten menyatakan diri sebagai pribadi yang Bersih Transparan Profesional (BTP atau bisa juga dimaknai akronim dari Basuki Tjahaha Purnama). Satu lagi, publik mengingatnya sebagai pribadi yang tegas sekaligus temperamental.

Perjalanan karirnya di bidang politik, menurut pengakuannya, karena diawali dari amarah. Usahanya ditutup oleh pejabat. Sejak itu ia frustasi dan ingin pindah ke Kanada. Tapi bapaknya melarang. Ahok urung ke luar negeri. Bapaknya juga aneh, dia menyarankan Ahok untuk menjadi pejabat. Dengan menjadi pejabat, kata bapak Ahok, bisa menolong orang banyak. Sejak saat itulah Ahok mengaku tertarik pada politik. Meski pada mulanya, ia mengaku tak tertarik pada politik dan memilih menjadi pengusaha.

Dorongan kemanusiaan lain yang mendorongnya jadi pejabat adalah ketika tetangganya di Belitung Timur berkeluh kesah ke keluarganya. Keluarganya menjadi alamat bagi orang-orang yang kesusahan dalam membayar uang sekolah dan biaya rumah sakit. Sisi manusiawi Ahok tergugah untuk membantu mereka.

Alasan ketertarikan Ahok untuk masuk ke gelanggang politik bisa jadi klise: membantu masyarakat kecil. Jokowi ikut Pemilihan Wali Kota Solo juga karena ia tak tega melihat para pengrajin seni di Solo yang kondisi ekonominya payah. Prabowo maju dalam Pilpres karena ingin menjadi pemimpin yang bisa membawa Indonesia yang lemah dan tertindas menjadi Indonesia yang beringas seperti macan, macan di Asia. Namun Ahok punya ciri khas dalam sisi ketertarikan dan dorongan.

Rasa kemanusiaan yang muncul dalam diri Ahok bukan karena polesan politik. Bukan pula kemanusiaan yang buta. Tapi kepekaan kemanusiaan yang timbul dari diri tapi sekaligus rasionalistik. Ia nyaris tidak mengungkapkan perasaan terdalamnya pada kemanusiaan dengan sentimentil. Bukan karena ia ingin tampak berwibawa tapi karena ia jenis manusia yang tak mudah larut dalam perasaan.

Jauh sebelum jadi Gubernur, Ahok pernah bercerita pada ibunya, suatu ketika ia melihat tukang semir sepatu di depan toko ayam goreng cepat saji. Tukang semir sepatu itu mengintip-intip. Ahok berpikiran mungkin anak itu pengen ayam goreng tapi tak punya uang. Ahok iba. Ia bergegas ke toko dan membeli beberapa kotak makanan cepat saji itu untuk diberikan kepada si tukang semir. Anak itu senang sekali. Ia membawa bungkusan kotak berisi ayam itu pulang ke rumahnya. Itu pengalaman kemanusiaan Ahok waktu SMA.

Panggilan kemanusiaan Ahok bisa jadi sudah tumbuh sedari muda. Ia telah menerima sejumlah pengalaman kemanusiaan dari keluarganya. Bapaknya Tionghoa, tapi tak pelit sebagaimana pandangan umum mengenai etnis ini. Pengalaman ini telah menumpuk dalam ingatannya dan mungkin benar bahwa niatnya terjun ke dunia politik karena ingin menolong orang banyak.

Tapi belakangan, ketika sudah menjabat Wakil Gubernur, Ahok menargetkan pada 2014 Jakarta bebas dari pengemis. Ia mengatakan sesuai isi perda yang menyebut pemberi uang ke pengemis akan didenda, maksimal Rp 20 juta dan hukuman kurungan 6 bulan. Menurut Ahok: "Kamu rusak mereka dengan uang Anda, sebenarnya mereka cuma butuh makan kan, kenapa dia lebih milih ke luar dari panti, karena ke luar (panti) dapat (duit) lebih besar."[1] 

Ahok anti orang miskin?
Tempo melaporkan bahwa Petugas Suku Dinas Sosial Jakarta Selatan menemukan fakta mengejutkan. Dalam sehari, pengemis di Jakarta bisa mengantongi penghasilan sekitar Rp 750 ribu hingga Rp 1 juta.[2]

Lalu di mana letak kemanusiaan Ahok? Ahok nampaknya lebih percaya bahwa kemanusiaan itu haruslah memiliki alasan rasional jika perlu harus prosedural. Ini ditunjukkannya ketika ia menyemprot guru honorer sampai pingsan! Guru itu mengadukan nasibnya kepada Ahok. Kata si guru honorer ia yang tak kunjung diangkat jadi PNS. Sementara rekan dia yang sama-sama honorer tapi anak kepala sekolah belum setahun sudah diangkat PNS. Bukan iba yang didapat si guru, Ahok justru menyemprotnya: "Kalau mau ngomong kesal-kesalan sama pemerintah, saya pun kesal. Kenapa pemerintah begitu goblok ngangkat honorer jadi guru langsung PNS. Padahal, mereka banyak ajak saudara. Enggak di tes juga," ucapnya sambil menunjuk-nunjuk ke arah guru honorer itu.”[3]

Semprotanya pada guru itu bisa berarti bahwa Ahok tak mudah iba hanya karena orang mengadukan kemalangan nasibnya—di luar bahwa kata-kata itu menyinggung perasaan orang. Ia mungkin mempercayai bahwa orang paling kasihan adalah orang yang minta belas kasihan.

Tapi anehnya, ketika usai menonton Jalanan, Ahok mengusap air matanya. Katanya: “Ini penting sebagai kritik bahwa Pemprov DKI masih tidak becus menangani penyandang masalah kesejahteraan sosial”.[4] Dan agaknya meweknya Ahok bukan karena pencitraan sebab ia selalu mengatakan cita-citanya yang belum kesampaian adalah menciptakan keadilan sosial di Indonesia. Kuncinya ada pada pelaksanaan sistem jaminan sosial nasional di mana semua warga negara Indonesia dijamin, mulai dari kesehatan sampai masa tuanya. Ketika itu bisa diimplementasikan dengan baik, keadilan sosial bisa terwujud sehingga tidak lagi ada orang yang harus mengemis untuk bisa hidup.

Endnote:

[1] m.merdeka.com. "Ahok Optimis, 2014 Jakarta Bebas Pengemis". Fikri Faqih. Edisi Jumat, 29 November 2013 | 13:07 WIB. Diakses pada Kamis, 21 Agustus 2014 | 04:27 WIB.
[2] http://www.tempo.co. "Nonton 'Jalanan', Ahok Sempat Menangis". Edisi Kamis, 22 Mei 2014  | 06:33 WIB. Diakses pada Kamis, 21 Agustus 2014 | 11:24 WIB.
[3] http://metropolitan.inilah.com. "Dimarahi Ahok, Guru Honorer Menangis dan Pingsan". Ahmad Farhan Faris. Edisi Kamis, 13 Februari 2014 | 20:04 WIB. Diakses pada Kamis, 21 Agustus 2014 | 11:57 WIB.
[4] http://www.tempo.co. "Nonton 'Jalanan', Ahok Sempat Menangis". Edisi Kamis, 22 Mei 2014  | 06:33 WIB. Diakses pada Kamis, 21 Agustus 2014 | 11:24 WIB.

Share on Facebook
Share on Twitter
Share on Google+
Tags :

Related : Klaim Ahok Soal Pencitraan dan Kejujuran Sebagai Pemimpin

0 comments:

Post a Comment