sisi lain sebuah berita

Sunday, March 8, 2015

Ahok dan Penyerapan Anggaran DKI Jakarta yang Rendah, Ini Penjelasannya

Akhir tahun 2013, beredar kabar penyerapan anggaran di DKI sangat rendah. Padahal Jokowi  yang saat itu menjabat Gubernur DKI Jakarta menargetkan penyerapan anggaran bisa mencapai 97%. Nyatanya penyerapan anggaran DKI hanya bisa menembus angka 82%. 

Menurut Ahok rendahnya tingkat penyerapan anggaran ini karena persoalan lelang yang cukup lama. Ia berjanji pada tahun 2014, serapan anggaran akan lebih baik.

Sedangkan menurut laporan Kepala Unit Kerja Presiden Bidang Pengawasan dan Pengendalian Pembangunan (UKP4), Kuntoro Mangkusubroto, persentase penyerapan anggaran DKI terendah dibanding daerah lain. Menurut Kuntoro hingga semester satu 2014 penyerapan anggarannya baru 15,4 persen dengan sisa anggaran Rp 54,8 triliun.

Pada pertengahan September 2014, penyerapan anggaran masih di bawah 30 persen dari total nilai APBD DKI sebesar Rp 72,9 triliun. Menurut Kepala Badan Pengelolaan Keuangan Daerah DKI Jakarta Endang Widjajanti, rendahnya penyerapan anggaran yaitu banyak kegiatan yang masih berproses di Unit Layanan Pengadaan Barang dan Jasa (ULP) DKI Jakarta. Terlebih, kata dia, ULP menangani lebih dari 5.000 paket kegiatan. Selain itu, kata Endang, banyak dokumen yang dikembalikan dan Satuan Kerja Perangkat Daerah diminta untuk melengkapinya.[i]

Ahok tak menampik, penyerapan anggaran di DKI sangat parah. Ia heran, semua Satuan Kerja Perangkat Daerah (SKPD) sudah diminta untuk mengadakan barang melalui e-katalog dari Lembaga Kebijakan Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah (LKPP). Selain itu juga  agar mengadakan lelang melalui Unit Layanan Pengadaan (ULP) Barang/Jasa DKI. Namun yang terjadi, menurut Ahok, SKPD tidak memasukkan harga satuan uang yang ingin dibeli.

Ahok juga menduga ada sabotase yang dilakukan oleh SKPD. Ada kesengajaan yang dilakukan anak buahnya agar penyerapan nampak rendah.

Tapi bagi Ahok rendahnya penyerapan anggaran itu tidak masalah daripada anggaran disalahgunakan. Dengan penyerapan yang rendah otomatis sisa lebih penggunaan anggaran atau Silpa akan meningkat. Sisa dana itu tak bisa digunakan di tahun anggaran dan hanya bisa digunakan tahun anggaran ke depan.

Ahok lagi-lagi berharap, Pemprov DKI bisa memaksimalkan penggunaan anggaran tahun 2015 agar bisa terserap maksimal sesuai program yang ada. Untuk itu, dirinya tak mau lagi mendengar ada alasan tender yang susah sehingga penyerapan kembali rendah.

Bagi sebagian pengamat ekonomi, rendahnya tingkat penyerapan anggaran juga berarti salah satu indikator kegagalan sebuah birokrasi. Kegagalan dalam melakukan penyerapan anggaran berakibat pada hilangnya manfaat belanja sehingga terjadi iddle money atau uang yang belum digunakan. Padahal negara sudah memberikan anggaran untuk digunakan secara efisien, di tengah keterbatasan sumber dana yang dimiliki. Ketika penyerapan anggaran gagal memenuhi target, hal itu bermakna bahwa telah terjadi inefesiensi dan inefektivitas pengalokasian anggaran.


Maka tak mengherankan apabila Staf Khusus Presiden, Andi Arief mengatakan Pemerintahan Jokowi-Ahok gagal mengelola Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) dengan baik.Sisa Lebih Penggunaan Anggaran (Silpa) DKI Jakarta 2013 berpotensi Rp 11 triliun jika diaudit oleh Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) atau meleset dari rencana dan lebih besar dari prediksi Jokowi.Artinya, menurut Andi,  dengan besaran Silpa tersebut, APBD pada 2014 jadi membengkak sebesar Rp72 triliun atau lebih besar dibandingkan pada 2013 sekitar Rp51 triliun.[ii]
Namun berbeda makna ketika minimnya penyerapan anggaran dilihat dari penganggaran berbasis kinerja. Dari sisi penganggaran berbasis kinerja, penyerapan anggaran bukan merupakan target alokasi anggaran. Penganggaran berbasis kinerja lebih menitikberatkan pada kinerja ketimbang penyerapan itu sendiri. Dalam penganggaran berbasis kinerja, peningkatan biaya yang harus dikeluarkan ditujukan untuk meningkatkan pendapatan atau yang lebih dikenal dengan istilah Marginal Revenue (MR).

Persoalannya, Indonesia menganut mashab yang meyakini bahwa variabel dominan pendorong pertumbuhan adalah faktor konsumsi. Akibatnya, belanja pemerintah dianggap sebagai konsumsi yang turut menjadi penentu pertumbuhan ekonomi. Makin “boros” anggaran berarti pertumbuhan ekonomi makin baik. Di sinilah titik lemah Ahok, ia gagal menyesuaikan dengan indikator pemerintah pusat.






[i] http://megapolitan.kompas.com. "Ini Penyebab Penyerapan Anggaran Pemprov DKI Rendah". Desy Afrianti. Selasa, 16 September 2014 | 12:05 WIB.
[ii] http://news.bisnis.com. "Ahok Sebut Staf Khusus Presiden Andi Arief Asal Ngomong, Kenapa?". Miftahul Khoer. Edisi Kamis, 01 Mei 2014 | 09:54 WIB. 

Share on Facebook
Share on Twitter
Share on Google+
Tags :

Related : Ahok dan Penyerapan Anggaran DKI Jakarta yang Rendah, Ini Penjelasannya

0 comments:

Post a Comment