Akhir
tahun 2013, beredar kabar penyerapan anggaran di DKI sangat rendah. Padahal
Jokowi yang saat itu menjabat Gubernur DKI Jakarta menargetkan penyerapan anggaran bisa mencapai 97%. Nyatanya penyerapan anggaran DKI
hanya bisa menembus angka 82%.
Menurut Ahok rendahnya tingkat penyerapan
anggaran ini karena persoalan lelang yang cukup lama. Ia berjanji pada tahun
2014, serapan anggaran akan lebih baik.
Sedangkan menurut laporan Kepala Unit
Kerja Presiden Bidang Pengawasan dan Pengendalian Pembangunan (UKP4), Kuntoro
Mangkusubroto, persentase penyerapan anggaran DKI terendah dibanding daerah
lain. Menurut Kuntoro hingga
semester satu 2014 penyerapan anggarannya baru 15,4 persen dengan sisa anggaran
Rp 54,8 triliun.
Pada
pertengahan September 2014, penyerapan anggaran masih di bawah 30 persen dari total nilai
APBD DKI sebesar Rp 72,9 triliun. Menurut Kepala Badan Pengelolaan Keuangan
Daerah DKI Jakarta Endang Widjajanti, rendahnya penyerapan anggaran yaitu
banyak kegiatan yang masih berproses di Unit Layanan Pengadaan Barang dan Jasa
(ULP) DKI Jakarta. Terlebih, kata dia, ULP menangani lebih dari 5.000 paket
kegiatan. Selain itu, kata Endang, banyak dokumen yang dikembalikan dan Satuan
Kerja Perangkat Daerah diminta untuk melengkapinya.[i]
Ahok tak menampik, penyerapan anggaran di DKI
sangat parah. Ia heran, semua Satuan Kerja Perangkat Daerah (SKPD) sudah diminta untuk mengadakan barang
melalui e-katalog dari Lembaga Kebijakan Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah
(LKPP). Selain itu juga agar mengadakan
lelang melalui Unit Layanan Pengadaan (ULP) Barang/Jasa DKI. Namun yang
terjadi, menurut Ahok, SKPD tidak memasukkan harga satuan uang yang ingin
dibeli.
Ahok juga menduga ada sabotase yang dilakukan oleh
SKPD. Ada kesengajaan yang dilakukan anak buahnya agar penyerapan nampak
rendah.
Tapi bagi Ahok rendahnya penyerapan anggaran itu
tidak masalah daripada anggaran disalahgunakan. Dengan penyerapan yang rendah
otomatis sisa lebih penggunaan anggaran atau
Silpa akan meningkat. Sisa dana itu tak bisa digunakan di tahun anggaran dan
hanya bisa digunakan tahun anggaran ke depan.
Ahok lagi-lagi berharap, Pemprov DKI bisa
memaksimalkan penggunaan anggaran tahun 2015
agar bisa terserap maksimal sesuai program yang ada. Untuk itu, dirinya tak mau
lagi mendengar ada alasan tender yang susah sehingga penyerapan kembali rendah.
Bagi
sebagian pengamat ekonomi, rendahnya tingkat penyerapan anggaran juga berarti
salah satu indikator kegagalan sebuah birokrasi. Kegagalan dalam melakukan
penyerapan anggaran berakibat pada hilangnya manfaat belanja sehingga terjadi iddle money atau uang yang belum
digunakan. Padahal negara sudah memberikan anggaran untuk digunakan secara efisien,
di tengah keterbatasan sumber dana yang dimiliki. Ketika penyerapan anggaran
gagal memenuhi target, hal itu bermakna bahwa telah terjadi inefesiensi dan
inefektivitas pengalokasian anggaran.
Maka tak mengherankan apabila Staf Khusus Presiden,
Andi Arief mengatakan Pemerintahan Jokowi-Ahok
gagal mengelola Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) dengan baik.Sisa
Lebih Penggunaan Anggaran (Silpa) DKI Jakarta 2013 berpotensi Rp 11 triliun
jika diaudit oleh Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) atau meleset dari rencana dan
lebih besar dari prediksi Jokowi.Artinya, menurut Andi, dengan besaran Silpa tersebut, APBD pada 2014
jadi membengkak sebesar Rp72 triliun atau lebih besar dibandingkan pada 2013
sekitar Rp51 triliun.[ii]
Namun
berbeda makna ketika minimnya penyerapan anggaran dilihat dari penganggaran
berbasis kinerja. Dari sisi penganggaran berbasis kinerja, penyerapan anggaran
bukan merupakan target alokasi anggaran. Penganggaran berbasis kinerja lebih
menitikberatkan pada kinerja ketimbang penyerapan itu sendiri. Dalam
penganggaran berbasis kinerja, peningkatan biaya yang harus dikeluarkan
ditujukan untuk meningkatkan pendapatan atau yang lebih dikenal dengan istilah
Marginal Revenue (MR).
Persoalannya,
Indonesia menganut mashab yang meyakini bahwa variabel dominan pendorong
pertumbuhan adalah faktor konsumsi. Akibatnya, belanja pemerintah dianggap
sebagai konsumsi yang turut menjadi penentu pertumbuhan ekonomi. Makin “boros”
anggaran berarti pertumbuhan ekonomi makin baik. Di sinilah titik lemah Ahok,
ia gagal menyesuaikan dengan indikator pemerintah pusat.
[i] http://megapolitan.kompas.com.
"Ini Penyebab Penyerapan Anggaran Pemprov DKI Rendah". Desy Afrianti.
Selasa, 16 September 2014 | 12:05 WIB.
[ii] http://news.bisnis.com.
"Ahok Sebut Staf Khusus Presiden Andi Arief Asal Ngomong, Kenapa?".
Miftahul Khoer. Edisi Kamis, 01 Mei 2014 | 09:54 WIB.
0 comments:
Post a Comment