sisi lain sebuah berita

Thursday, March 5, 2015

Fakta dan Kronologi Kasus KPK-Polri yang Akan Diingat Sepanjang Masa

Kasak kusuk soal pengganti Kapolri Jenderal Sutarman mulai beredar pada akhir 2014. Tapi kasak kusuk itu kalah heboh ketimbang jatuhnya AirAsia QZ8501 pada 29 Desember 2014. Publik dan media teralihkan ke sana. Untuk sementara waktu isu itu belum menjadi pusat perhatian. Kecuali bahwa rekening gendut sebagaimana diberitakan majalah Tempo pada 2010 itu belum terlupakan.

Tapi seminggu kemudian, ditengah berjibun berita tentang evakuasi AirAsia QZ8501, 10 Januari 2015, Presiden Joko Widodo memilih Komisaris Jendral (Komjen) Budi Gunawan sebagai calon tunggal Kapolri menggantikan Jendral Sutarman. Sutarman adalah Kapolri yang dipilih semasa pemerintahan SBY.

Keputusan presiden sontak membuat publik bertanya-tanya dan menuai kritik. Budi yang masuk dalam daftar pemilik rekening gendut sekaligus mantan ajudan Megawati Sukarnoputri, ketua Umum Partai Indonesia Perjuangan memunculkan sejumlah spekulasi.

Presiden juga dikritik karena tak menggunakan jasa KPK dalam memilih calon Kapolri. Padahal, menurut ketua KPK, Budi masuk dalam daftar catatan merah.

Sementara itu mantan Presiden SBY menyatakan orang-orang pilihannya di masa lalu disingkirkan.

Tiga hari kemudian, 13 Januari 2015, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) mengumumkan Budi Gunawan sebagai tersangka korupsi. Budi dituding melakukan transaksi tidak wajar saat menjabat Kepala Biro Pembinaan Karier Deputi Sumber Daya Manusia Polri periode 2003-2006 dan jabatan lain di Mabes Polri.

Sebagai salah satu contoh, pada 2005, anaknya yang baru berusia 19 tahun ketika itu, memperoleh pinjaman sebesar Rp 57 milliar dari PT Pasific Blue. Rp 32 Milliar diantaranya masuk ke rekening Budi Gunawan. Sementara dari hasil penyelidikan Bareskrim pada 2010 transaksi tersebut dinilai wajar. 

Penyelidikan ini kemungkinan dilakukan semenjak majalah Tempo edisi 28 Juni 2010, “Rekening Gendut Perwira Polisi”.

Tapi KPK tetap menjerat Budi Gunawan dengan pasal 12 huruf a atau b pasal 5 ayat 2 pasal 11 atau pasal 12 B UU No 31 tahun 1999 sebagaimana diubah dengan UU No 20 tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi jo pasal 55 ayat 1 ke-1 KUHP.

Uniknya, sehari setelah penetapan tersangka oleh KPK, Budi Gunawan dinyatakan lulus uji kelayakan dan kepatutan oleh Komisi III DPR RI.

Uniknya lagi, rapat paripurna Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) menetapkan Komjen Budi Gunawan sebagai calon Kapolri menggantikan Jenderal Sutarman, pada Kamis 15 Januari.

Faksi Partai Demokrasi Indonesia-Perjuangan (PDIP) jelas mendukung penetapan ini. Demikian pula dengan fraksi sesama Koalisi Indonesia Hebat (KIB) seperti Partai Kebangitan Bangsa (PKB), Partai Nasional Demokrat (Nasdem) dan Partai Hati Nurani Rakyat (Hanura).

Yang bikin masalah tambah aneh, di kubu Koalisi Merah Putih (KMP) yang menyatakan sebagai oposisi juga turut mendukung penetapan ini. Fraksi dari Partai Golkar, Gerindra, PKS, dan PPP nyata-nyata turut mendukung penetapan Komjen Budi Gunawan. Dua fraksi lain di kubu KMP, Demokrat dan PAN, mengusulkan penundaan penetapan berkaitan dengan status hukum Budi Gunawan.

Di tengah persoalan yang makin runyam, foto-foto mesra yang diduga Abraham Samad dan Putri Indonesia 2014 Elvira Devinamira tersebar di dunia maya. Samad mengklaim foto tersebut palsu. Pun Elvira.
Sementara Budi Gunawan yang ditetapkan menjadi tersangka kemudian mendaftarkan gugatan pra peradilan pada 19 Januari 2015.

Tak terima dengan status yang disandangnya, kuasa hukum hukum Budi Gunawan balik melaporkan komisioner KPK ke Badan Reserse Kriminal Polri (Bareskrim) pada 22 Januari 2015. Mereka menuding KPK membocorkan rahasia negara karena telah menunjukkan transaksi dan rekening keluarga Budi Gunawan dari Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK ).

Masalah makin runyam ketika Sekjen PDI-P Hasto Kristiyanto memberikan pernyataan publik bahwa Abraham Samad pernah mengutarakan ambisi menjadi calon wakil presiden.


Di tengah situasi ini, publik risau dengan sikap presiden yang dinilai membiarkan persoalan berlarut-larut.
Kerisauan makin menguat ketika Wakil Ketua KPK Bambang Widjojanto ditangkap Bareskrim Polri pada 23 Januari 2015. BW, demikian ia sering disebut, dituduh telah memerintahkan kesaksian palsu terkait sengketa pilkada Kotawaringin Barat pada 2010. Saat itu Bambang menjadi salah satu pengacara untuk pasangan Ujang Iskandar-Bambang Purwanto.

Penangkapan ini menimbulkan reaksi publik. Ratusan orang berdatangan ke gedung KPK semenjak siang hari hingga malam untuk memberikan dukungan kepada KPK. Mereka juga meragukan Jokowi yang dinilai tidak tegas dalam menyelesaikan masalah KPK dan Polri. Pada malam harinya, setelah memberikan pernyataan pers, Samad dan pimpinan KPK lain mendatangi Bareskrim Mabes Polri menuntut pembebasan Bambang Widjojanto.

Melihat reaksi publik, Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan  (Menkopolkam) Tedjo Edhy Purdijatno menyebut para pendukup di KPK dengan sebutan “rakyat tidak jelas”. Sontak perkataan menteri Tedjo dikritrik dan dibully di media sosial.

Bambang Widjojanto baru keluar dari pemeriksaan pada tengah malam 22 Januari 2015.

Sementara presiden yang ditungu-tunggu sikapnya baru muncul setelah tekanan publik makin menguat. Pada 23 Januari, presiden memberikan pernyataan berkaitan konflik di KPK dan Polri. Tapi pernyataan itu dinilai terlalu normatif dan tidak menjawab persoalan. Publik kecewa dengan sikap presiden.

Setelah pernyataan presiden tu pun masalah tidak selesai. Justru Wakil Ketua KPK Adnan Pandu Praja diadukan ke Bareskrim Polri. Adnan diduga melakukan pemalsuan surat notaris dan penghilangan saham PT Desy Timber.

Dua hari berikutnya, 25 Januari 2015, presiden membentuk tim yang beranggotakan 9 orang, biasa disebut Tim 9. Tugas tim ini, yang sama sekali tidak ditetapkan melalui Keppres, adalah membantu presiden dalam menyelesaikan persoalan KPK-Polri.

Tim 9 yang diketuai Syafii Maarif, mengusulkan kepada Presiden Jokowi untuk mencabut pencalonan Budi Gunawan. Tim juga meminta presiden ini untuk segera bertindak mengatasi persoalan ini.

Setidaknya sampai akhir Januari 2015, presiden belum mengambil keputusan. Justru Wakil Ketua KPK Zulkarnaen dilaporkan ke Mabes Polri karena dituduh melakuka tindak pidana korupsi dana hibah Program Penanganan Sosial Ekonomi Masyarakat (P2SEM) Jawa Timur pada 2008.

Kasus tiga pimpinan KPK (Bambang Widjojanto, Andan Pandu, dan Zulkarnaen) ditangani oleh Bareskrim Polri.

Awal Februari 2015 sidang gugatan pra peradilan Budi Gunawan dimulai di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan pada 2 Februari. Dan pada 16 Februari 2015 Majelis Hakim PN Jakarta Selatan yang dipimpin hakim Sarpin mengabulkan gugatan Budi Gunawan. Hakim Sarpin menyatakan bahwa penetapan Budi Gunawan sebagai tersangka oleh KPK tidak sah dan tidak bersifat mengikat secara hukum.

Sehari berikutnya, 17 Februari, Ketua KPK Abraham Samad dijadikan tersangka oleh Kepolisian Daerah Sulawesi Selatan. Samad Samad dituduh melakukan pemalsuan dokumen yang melibatkan seorang perempuan misterius bernama Feriyani Lim.

Hari itu juga empat pimpinan KPK disudutkan dengan masalah hukum.

Sehari berikutnya, 18 Februari, Presiden mengumumkan pembatalan pengangkatan Budi Gunawan. Presiden mengusulkan Komjen Pol Badrodin Haiti untuk mengisi kekosongan pimpinan di Polri. dapatkan persetujuan DPR sebagai Kapolri. Badrodin adalah pelaksana tugas (plt) Kapolri saat ini setelah Jenderal Sutarman dicopot dari jabatannya bulan lalu. Sebelumnya dia adalah Wakil Kapolri.

Sementara untuk Mengingat dua dari 4 pimpinan KPK yang ditetapkan sebagai tersangka dalam kasus hukum yang berbeda, Jokowi mengeluarkan Keputusan Presiden (Keppres) agar lembaga tersebut dapat berfungsi. Presiden mengangkat tiga pimpinan sementara KPK Taufiequrrahman Ruki, dosen Fakultas Hukum Universitas Indonesia Indiyanto Seno Adji, dan mantan juru bicara KPK Johan Budi.


Masalah belum selesai...

Share on Facebook
Share on Twitter
Share on Google+
Tags :

Related : Fakta dan Kronologi Kasus KPK-Polri yang Akan Diingat Sepanjang Masa

0 comments:

Post a Comment