Kasak kusuk soal pengganti Kapolri Jenderal Sutarman mulai
beredar pada akhir 2014. Tapi kasak kusuk itu kalah heboh ketimbang jatuhnya
AirAsia QZ8501 pada 29 Desember 2014. Publik dan media teralihkan ke sana.
Untuk sementara waktu isu itu belum menjadi pusat perhatian. Kecuali bahwa rekening
gendut sebagaimana diberitakan majalah Tempo pada 2010 itu belum terlupakan.
Tapi seminggu kemudian, ditengah berjibun berita tentang
evakuasi AirAsia QZ8501, 10 Januari 2015, Presiden Joko Widodo memilih
Komisaris Jendral (Komjen) Budi Gunawan sebagai calon tunggal Kapolri
menggantikan Jendral Sutarman. Sutarman adalah Kapolri yang dipilih semasa
pemerintahan SBY.
Keputusan presiden sontak membuat publik bertanya-tanya dan
menuai kritik. Budi yang masuk dalam daftar pemilik rekening gendut sekaligus
mantan ajudan Megawati Sukarnoputri, ketua Umum Partai Indonesia Perjuangan
memunculkan sejumlah spekulasi.
Presiden juga dikritik karena tak menggunakan jasa KPK dalam
memilih calon Kapolri. Padahal, menurut ketua KPK, Budi masuk dalam daftar catatan
merah.
Sementara itu mantan Presiden SBY menyatakan orang-orang
pilihannya di masa lalu disingkirkan.
Tiga hari kemudian, 13 Januari 2015, Komisi Pemberantasan
Korupsi (KPK) mengumumkan Budi Gunawan sebagai tersangka korupsi. Budi dituding
melakukan transaksi tidak wajar saat menjabat Kepala Biro Pembinaan Karier
Deputi Sumber Daya Manusia Polri periode 2003-2006 dan jabatan lain di Mabes
Polri.
Sebagai salah satu contoh, pada 2005, anaknya yang baru
berusia 19 tahun ketika itu, memperoleh pinjaman sebesar Rp 57 milliar dari PT
Pasific Blue. Rp 32 Milliar diantaranya masuk ke rekening Budi Gunawan. Sementara
dari hasil penyelidikan Bareskrim pada 2010 transaksi tersebut dinilai wajar.
Penyelidikan ini kemungkinan dilakukan semenjak majalah Tempo edisi 28 Juni
2010, “Rekening Gendut Perwira Polisi”.
Tapi KPK tetap menjerat Budi Gunawan dengan pasal 12 huruf a
atau b pasal 5 ayat 2 pasal 11 atau pasal 12 B UU No 31 tahun 1999 sebagaimana
diubah dengan UU No 20 tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi
jo pasal 55 ayat 1 ke-1 KUHP.
Uniknya, sehari setelah penetapan tersangka oleh KPK, Budi
Gunawan dinyatakan lulus uji kelayakan dan kepatutan oleh Komisi III DPR RI.
Uniknya lagi, rapat paripurna Dewan Perwakilan Rakyat (DPR)
menetapkan Komjen Budi Gunawan sebagai calon Kapolri menggantikan Jenderal
Sutarman, pada Kamis 15 Januari.
Faksi Partai Demokrasi Indonesia-Perjuangan (PDIP) jelas
mendukung penetapan ini. Demikian pula dengan fraksi sesama Koalisi Indonesia
Hebat (KIB) seperti Partai Kebangitan Bangsa (PKB), Partai Nasional Demokrat
(Nasdem) dan Partai Hati Nurani Rakyat (Hanura).
Yang bikin masalah tambah aneh, di kubu Koalisi Merah Putih (KMP) yang
menyatakan sebagai oposisi juga turut mendukung penetapan ini. Fraksi dari
Partai Golkar, Gerindra, PKS, dan PPP nyata-nyata turut mendukung penetapan
Komjen Budi Gunawan. Dua fraksi lain di kubu KMP, Demokrat dan PAN, mengusulkan
penundaan penetapan berkaitan dengan status hukum Budi Gunawan.
Di tengah persoalan yang makin runyam, foto-foto mesra yang
diduga Abraham Samad dan Putri Indonesia 2014 Elvira Devinamira tersebar di
dunia maya. Samad mengklaim foto tersebut palsu. Pun Elvira.
Sementara Budi Gunawan yang ditetapkan menjadi tersangka
kemudian mendaftarkan gugatan pra peradilan pada 19 Januari 2015.
Tak terima dengan status yang disandangnya, kuasa hukum
hukum Budi Gunawan balik melaporkan komisioner KPK ke Badan Reserse Kriminal
Polri (Bareskrim) pada 22 Januari 2015. Mereka menuding KPK membocorkan rahasia
negara karena telah menunjukkan transaksi dan rekening keluarga Budi Gunawan
dari Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK ).
Masalah makin runyam ketika Sekjen PDI-P Hasto Kristiyanto
memberikan pernyataan publik bahwa Abraham Samad pernah mengutarakan ambisi
menjadi calon wakil presiden.
Di tengah situasi ini, publik risau dengan sikap presiden
yang dinilai membiarkan persoalan berlarut-larut.
Kerisauan makin menguat ketika Wakil Ketua KPK Bambang
Widjojanto ditangkap Bareskrim Polri pada 23 Januari 2015. BW, demikian ia
sering disebut, dituduh telah memerintahkan kesaksian palsu terkait sengketa
pilkada Kotawaringin Barat pada 2010. Saat itu Bambang menjadi salah satu
pengacara untuk pasangan Ujang Iskandar-Bambang Purwanto.
Penangkapan ini menimbulkan reaksi publik. Ratusan orang
berdatangan ke gedung KPK semenjak siang hari hingga malam untuk memberikan
dukungan kepada KPK. Mereka juga meragukan Jokowi yang dinilai tidak tegas
dalam menyelesaikan masalah KPK dan Polri. Pada malam harinya, setelah
memberikan pernyataan pers, Samad dan pimpinan KPK lain mendatangi Bareskrim
Mabes Polri menuntut pembebasan Bambang Widjojanto.
Melihat reaksi publik, Menteri Koordinator Bidang Politik,
Hukum, dan Keamanan (Menkopolkam) Tedjo
Edhy Purdijatno menyebut para pendukup di KPK dengan sebutan “rakyat tidak
jelas”. Sontak perkataan menteri Tedjo dikritrik dan dibully di media sosial.
Bambang Widjojanto baru keluar dari pemeriksaan pada tengah
malam 22 Januari 2015.
Sementara presiden yang ditungu-tunggu sikapnya baru muncul
setelah tekanan publik makin menguat. Pada 23 Januari, presiden memberikan
pernyataan berkaitan konflik di KPK dan Polri. Tapi pernyataan itu dinilai
terlalu normatif dan tidak menjawab persoalan. Publik kecewa dengan sikap
presiden.
Setelah pernyataan presiden tu pun masalah tidak selesai.
Justru Wakil Ketua KPK Adnan Pandu Praja diadukan ke Bareskrim Polri. Adnan
diduga melakukan pemalsuan surat notaris dan penghilangan saham PT Desy Timber.
Dua hari berikutnya, 25 Januari 2015, presiden membentuk tim
yang beranggotakan 9 orang, biasa disebut Tim 9. Tugas tim ini, yang sama
sekali tidak ditetapkan melalui Keppres, adalah membantu presiden dalam
menyelesaikan persoalan KPK-Polri.
Tim 9 yang diketuai Syafii Maarif, mengusulkan kepada
Presiden Jokowi untuk mencabut pencalonan Budi Gunawan. Tim juga meminta
presiden ini untuk segera bertindak mengatasi persoalan ini.
Setidaknya sampai akhir Januari 2015, presiden belum
mengambil keputusan. Justru Wakil Ketua KPK Zulkarnaen dilaporkan ke Mabes
Polri karena dituduh melakuka tindak pidana korupsi dana hibah Program
Penanganan Sosial Ekonomi Masyarakat (P2SEM) Jawa Timur pada 2008.
Kasus tiga pimpinan KPK (Bambang Widjojanto, Andan Pandu,
dan Zulkarnaen) ditangani oleh Bareskrim Polri.
Awal Februari 2015 sidang gugatan pra peradilan Budi
Gunawan dimulai di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan pada 2 Februari. Dan pada
16 Februari 2015 Majelis Hakim PN Jakarta Selatan yang dipimpin hakim Sarpin
mengabulkan gugatan Budi Gunawan. Hakim Sarpin menyatakan bahwa penetapan Budi
Gunawan sebagai tersangka oleh KPK tidak sah dan tidak bersifat mengikat secara
hukum.
Sehari berikutnya, 17 Februari, Ketua KPK Abraham Samad
dijadikan tersangka oleh Kepolisian Daerah Sulawesi Selatan. Samad Samad
dituduh melakukan pemalsuan dokumen yang melibatkan seorang perempuan misterius
bernama Feriyani Lim.
Hari itu juga empat pimpinan KPK disudutkan dengan masalah
hukum.
Sehari berikutnya, 18 Februari, Presiden mengumumkan
pembatalan pengangkatan Budi Gunawan. Presiden mengusulkan Komjen Pol Badrodin
Haiti untuk mengisi kekosongan pimpinan di Polri. dapatkan persetujuan DPR
sebagai Kapolri. Badrodin adalah pelaksana tugas (plt) Kapolri saat ini setelah
Jenderal Sutarman dicopot dari jabatannya bulan lalu. Sebelumnya dia adalah
Wakil Kapolri.
Sementara untuk Mengingat dua dari 4 pimpinan KPK yang
ditetapkan sebagai tersangka dalam kasus hukum yang berbeda, Jokowi
mengeluarkan Keputusan Presiden (Keppres) agar lembaga tersebut dapat
berfungsi. Presiden mengangkat tiga pimpinan sementara KPK Taufiequrrahman Ruki,
dosen Fakultas Hukum Universitas Indonesia Indiyanto Seno Adji, dan mantan juru
bicara KPK Johan Budi.
Masalah belum selesai...
0 comments:
Post a Comment